Selasa, 15 September 2009

Mudik Ala Motoris

Bung Karno (ups, hari ini Hari Pahlawan!) pernah berkata, cacing pun kalau diinjak akan menggeliat!!!! Dan geliat ala sebagian saudara kita yang tetap ingin mudik di tengah segala keterbatasan adalah mudik dengan sepeda motor. Andaikan sebuah keluarga kecil ala iklan KB ingin mudik dari Bandung ke Yogya. Naik bis kelas ekonomi konon tarifnya sudah Rp.75000,- per orang. Anak-anak dipangku, total Rp.150000,- sekali jalan. Naik kereta kelas ekonomi resminya Rp.26000,- per orang, tapi desak-desakannya jangan ditanya. Mau jadi penumpang gelap, maka harus memperhitungkan sogokan kondektur sebagai beban dompet, dan segepok dosa untuk beban jiwa. Sementara dengan sepeda motor, jarak 400 kilometer hanya menghabiskan sekitar 10 hingga 12 liter bensin. Dengan harga bensin premium yang Rp.4500,- per liternya, praktis biaya mudik hanya sekitar Rp.50000,-. Ini Indonesia, di mana sepeda motor bebek bisa menampung dua orang dewasa dan dua anak-anak.!

Pemudik motoris jumlahnya meningkat sampai 300% dibandingkan tahun lalu. Sementara pengguna bis dan kereta api seputar hari Lebaran konon menurun sekitar lima persen. Anehnya, Pak Menteri masih bisa menyimpulkan bahwa itu semata-mata karena kepraktisan, dan bukan karena naiknya harga BBM. Oh, really? Lelahnya bersepeda motor ratusan kilometer, di tengah musim hujan dan arus mudik, jangan ditanya. Kalau penumpangnya hanya orang dewasa, terserahlah. Tapi kalau harus membawa anak kecil, apalagi lalu dijadikan “tameng” di depan si Ayah, rasanya kita perlu bertanya. Apakah harga nyawa dan kesehatan, khususnya anak-anak kita, harus turun sedemikian jauh, berbanding terbalik dengan naiknya harga BBM.?

Gue sangat mengerti bagaimana nggak enaknya berlebaran jauh dari rumah, karena gue pernah mengalaminya bertahun-tahun. Tapi kalau dibandingkan dengan resiko yang harus diambil oleh anak-anak di jalan raya, rasanya sih, berlebaran di manapun tak jadi masalah. Ini masih bumi Allah, dan benderanya masih Merah-Putih kok. Kita masih bisa shalat Ied di lapangan bersama keluarga terdekat. Masih bisa berkumpul dengan teman-teman dan tetangga, “keluarga” terdekat kita. Lagipula, selain bermaafan bersama orang tua, bukankah bermaafan dengan mereka yang sehari-hari berinteraksi dengan kita itu sangatlah penting.?

Daripada menggeliat sambil mempertaruhkan nyawa segenap anggota keluarga di jalan raya, lebih baik menggeliat dan mencoba realistis. Mungkin keluarga besar tak bisa berkumpul di Hari Raya, tapi mari kita cuti bersama tiga bulan lagi. Saat kita sudah bisa mengumpulkan biaya untuk membeli tiket kereta kelas ekonomi yang tak lagi sepenuh hari ini. Kalau masih merasa diri yang paling sengsara karena berada di kota saat Hari Raya, ingatlah nasib para Polisi Lalu Lintas, petugas DLLAJ, masinis kereta api, pramugari, dokter jaga di rumah sakit, dan sipir penjara. Hari Raya memang saat yang tepat untuk menjalin kembali silaturahmi. Tapi tak hanya Hari Raya. Allah menciptakan semua hari sama baiknya.

---
Originally from : http://www.jalankenangan.net/celoteh/?p=98

Tidak ada komentar: